Laman

Visitor

Tuesday, December 08, 2015

[Review] Eksistensi Rasa oleh Farah Hidayati


 Judul      : Eksistensi Rasa
Penulis   :  Farah Hidayati
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun     : 2015
Halaman : 248 Hal
ISBN     : 9786020317809


Blurb:

Awal semester baru ini, ada yang berubah pada konstelasi pertemanan Rindu di kampus. Sahabat Rindu, Devin Jelaga Osman alias Djo, sepertinya menyimpan rahasia. Djo bahkan sempat menghilang selama empat hari tanpa memberitahukan alasannya kepada siapa pun, termasuk kepada Rindu. Dan belakangan ini, Djo sering berkeliaran di lantai tiga kampus. Ada yang membuat jantungnya berdebar di sana. Seseorang yang tidak benar-benar ia kenal. Tapi satu hal yang belum Djo ketahui, orang itu memiliki kunci dari pertanyaan penting dalam hidupnya: Siapa sebenarnya gue?

Resensi:

Devin Jelaga Osman. Djo. Sahabat dari Rindu Vanilla. Mereka bersahabat sejak kuliah di Universitas Mayapada. Cerita dibuka dengan Rindu yang mencari pekerjaan sampingan. Djo, memberitahu Rindu bahwa Pak Musa, dosen yang berkebutuhan khusus, mencari seorang asisten lagi. Tentu, Pak Musa sudah mempunyai seorang asisten, yaitu Ezra. 
Tidak mudah bagi Rindu untuk mendapatkan pekerjaan tersebut, karena Ezra menyeleksi dengan ketat. Namun, pada akhirnya Rindu berhasil mendapatkan pekerjaan tersebut. 

Awal membaca kisah ini, terus terang saya bingung. Menerka-nerka jalan cerita ke mana. Siapa Rindu? Siapa Djo? Ezra? Langit? Bening? Dan, siapa lagi Ferro? Seperti ketika membaca kisah pada umumnya, kita akan beradaptasi terhadap cerita terlebih dahulu. Tapi, dalam kisah ini di awal bab sudah disuguhkan berbagai macam karakter, yang membuat pembaca harus ekstra menerka-nerka. Mungkin karena kisah ini berseri, dan saya membaca bagian kedua. 

Lingkaran pertemanan Rindu dan Djo, saya pikir mereka akan menjadi sepasang kekasih semacam kisah-kisah yang pernah saya baca. Tapi, saya salah total. Mereka murni berteman. Bersahabat. Rindu sendiri memiliki kekasih, yaitu Langit. Langit tidak di sini, dia di luar negeri. Mereka melakukan hubungan jarak jauh. Sedangkan, Djo, memiliki kelainan. Ia tidak bisa mencintai perempuan. Itulah alasan yang mendasar mengapa mereka hanya bersahabat. Padahal, saya ingin mereka bersama :D.

Kisah berpusat pada Djo yang belum benar-benar mengenali siapa dirinya. Ia dibesarkan oleh keluarga Osman, sejak ia dilahirkan ketika gunung Merapi meletus. Dia anak angkat dan sampai ia dewasa, ia belum benar-benar tahu siapa orangtuanya. Sebenarnya, ia sudah tahu di mana ibunya dimakamkan, tapi ayahnya? Ia sama sekali tak tahu.

Di sinilah, rahasia itu terbongkar. Mengenai debaran yang ia rasakan itu, Pak Musa, dan Ezra. Semakin bergulir kisah ini, semakin menarik pula untuk diikuti. Dari novel ini saya mendapatkan beberapa kutipan.

Gue tahu rasanya bagaimana menjadi anak yang berutang bakti pada orangtua. Lo nggak harus punya DNA yang sama dengan orangtua lo untuk tahu hal itu. (hal. 54)
Hari ini Djo menyadari, sejarah biologis tidak begitu penting kalau kau tidak memiliki ikatan emosional dengannya. (hal. 146)
 Dan saya sangat suka dengan percakapan antara Djo dan Ezra berikut ini:

"Nail Gaiman dalam The Graveyard pernah menulis kira-kira begini: 'People who believe they will be happy if they go and live somewhere else, finally learn it doesn't work that way. Whereever you go you take yourself with you.',"ucap Djo. (hal. 158)
Pada kalimat yang dilontarkan Djo, membuat saya tersentil. Terkadang kita memang merasa bosan dengan lingkungan sekitar. Ingin pergi. Minggat yang jauh. Sebenarnya, masalah yang kita hadapi berasal dari hati dan pikiran kita sendiri, bukan dari lingkungan.

Overall, saya menikmati membaca novel ini, dan mungkin saya harus membeli buku pertama dari Eksistensi Rasa yaitu, Konstelasi Rindu.

Happy Reading!! ^^


No comments:

Post a Comment