Judul : Last Forever
Penulis : Windry Ramadhina
Penerbit : GagasMedia
Harga : Rp. 69.000
Halaman: 384 Hal
Blurb:
“Seharusnya, aku tidak boleh mengharapkanmu. Seharusnya, aku tahu diri. Tapi, Lana..., ketakutanku yang paling besar adalah... aku kehilangan dirimu pada saat aku punya kesempatan memilikimu.” — Samuel
“Untuk berada di sisimu, aku harus membuang semua yang kumiliki. Duniaku. Apa kau sadar?” — Lana
Dua orang yang tidak menginginkan komitmen dalam cinta terjerat situasi yang membuat mereka harus mulai memikirkan komitmen. Padahal, bagi mereka, kebersamaan tak pernah jadi pilihan. Ambisi dan impian jauh lebih nyata dibandingkan cinta yang hanya sementara. Lalu, bagaimana saat menyerah kepada cinta, justru membuat mereka tambah saling menyakiti? Berapa banyak yang mampu mereka pertaruhkan demi sesuatu yang tak mereka duga?
Resensi:
Mimpi itu/ Impian-impian itu /
sebuah ambisi merupakan hal yang sangat berharga. Sesuatu yang membuat hidup
lebih menyala. Berkobar bagai bara api. Sebuah tujuan hidup. Bagi Lana –
bagiku, impian semacam itu.
Ada puluhan tempat yang ingin
Lana kunjungi. Misalnya, Goa Xibalba di Belize. Situs arkeologi Sulu Maya itu
menyimpan kepingan-kepingan tembikar berusia ribuan tahun. Terlalu banyak hal
yang belum ia wujudkan.
Lana perempuan mandiri, bekerja
di Nat Geo selama enam tahun, seseorang yang antikomitmen, dan hanya memikirkan
kebebasan dalam meraih cita-citanya. Umurnya sudah tiga puluh satu tahun, ia
sama sekali tidak memikirkan sebuah hubungan yang serius, apalagi menikah.
Tujuh tahun yang lalu, Lana
bertemu dengan Samuel Hardi. Pemilik studio film dokumenter. Laki-laki ambisius
yang angkuh. Laki-laki yang suka bergonta-ganti pasangan, menjalin hubungan
hanya untuk urusan fisik. Lelaki yang
merebut hati Lana, dalam sebuah pertunjukkan film dokumenter mengenai penari
Jawa. Saat itu, tujuh tahun yang lalu, Lana melihat karya Samuel di Festival de
Cannes. Lana terpukau, ia sampai lupa untuk bernapas. Samuel Hardi, ia mencari
laki-laki itu, terobsesi. Begitu saja, hubungan mereka pun terjalin. Bukan
hubungan sepasang kekasih, bukan hal semacam itu.
Lana di Wangshinton dan Samuel di
Jakarta.
Hubungan mereka terjalin hanya
sebatas fisik saja. Adakalanya, Lana pergi ke studio Samuel, bercinta, lalu
pergi. Atau sebaliknya. Setiap ada kesempatan mereka bertemu. Lagi-lagi, hanya
hubungan fisik. Saling bercerita mengenai film dokumenter.
Bagiku, mereka semacam partner in crime?
Cerita dimulai ketika Lana harus
kembali ke Indonesia, Jakarta, tepatnya untuk melakukan persiapan syuting di
Flores. Hardi merupakan studio yang dipilih oleh Nat Geo untuk membantu
kelancaran proyek tersebut. Saat itulah, Lana dan Samuel, mengetahui sesuatu
yang membuat mereka memilih dan berpikir ulang untuk bersama.
Ini merupakan novel kedelapan
Mbak Windry. Novel ini bukan kelanjutan dari Montase, meskipun di sini ada
Rayyi, tokoh utama dalam Montase. Tokoh Samuel Hardi dalam Last Forever memang
diambil dari Samuel Hardi dalam Montase. Untuk informasi saja, Montase
merupakan novel awal yang membuatku menyukai karya-karya Mbak Windry.
Seperti karya Mbak Windry
sebelumnya. Dia – Mbak Windry – selalu bisa membawa suasana dalam novel.
Seakan-akan mereka benar-benar nyata, hidup. Bukan fiksi. Cara bertuturnya
detil, setting selalu mendukung isi cerita. Dalam Last Forever, kelakuan Lana
dan Samuel, membuatku senyum-senyum sendiri. Di sini, mereka lebih ‘nakal’
daripada tokoh dalam kisah Mbak Windry lainnya – suka sekali saya!.
Rayyi, di Last Forever menjadi
pemuda yang menyebalkan. Suka sekali menggoda bos-nya, Samuel. Saya sampai
ikutan geram dibuatnya. Terlebih lagi, pada adegan di bab 21 halaman 324 – saya tidak akan menyebutkan adegannya
seperti apa, takut spoiler haha –
Rayyi tertawa keras, menertawai Samuel. Menurut saya, interaksi keduanya terasa
lucu dan menyenangkan.
Beruntungnya, novel ini diselipi
beberapa kutipan dari tokoh-tokoh dunia. Seperti Sade Andria Zabala pada awal
bab yang berbunyi
I want to be the first thing you touch in the morning and the last thing you touch at night
Bagi saya, kutipan tersebut
seksi. Sedikit, hot, dan benar-benar
bisa mengawali cerita dengan pas. Menggambarkan Lana dan Samuel sesungguhnya. Mereka hot, Baby!
Jika diibaratkan, saya adalah
Lana, memiliki pekerjaan impian di Nat Geo, apartemen sendiri, melakukan segala
sesuatunya tanpa ada larangan, dan hanya bertanggung jawab pada pekerjaan.
Siapa sih, yang tak suka berpergian dibiayai oleh perusahaan gratis dan dibayar
pula? Tentu, berkomitmen adalah hal terakhir yang akan saya atau Lana pikirkan.
Tapi, bukankah adakalanya, kita merasa sendirian dan butuh seseorang. Lagi
pula, perempuan mana yang mau melewatkan Samuel Hardi? Saya pun, tidak.
Dalam kisah ini, emosi saya
membuncah ketika Lana tidak bisa bertemu Samuel, ketika laki-laki itu
membutuhkannya di Flores. Seorang Lana, bisa begitu lemah dan emosional karena
seorang Samuel. Samuel pun sebaliknya, ia rela meninggalkan pekerjaan hanya
karena seorang Lana.
Mereka memiliki hubungan yang
rumit, tapi juga sangat manis.
Sangat rugi, jika tidak mengikuti
kisah mereka!
“Pernikahan tidak masuk akal buatku, Samuel. Lebih tidak masuk akal lagi kalau aku menjalaninya bersamamu. Kau. Lelaki yang tidak pernah bertahan dengan satu perempuan untuk waktu yang lama. Sekarang, mungkin kau menginginkanku. Tapi, bagaimana satu tahun kemudian? Lima tahun. Sepuluh tahun. Apa kau bisa menjamin kau tidak akan menyakitiku? ....” - Lana hal 356
It takes great courage to love, knowing it might end anytime but having the faith it will last forever - Erich Segal
No comments:
Post a Comment