Laman

Visitor

Friday, October 23, 2015

[Resensi] Last Forever - Windry Ramadhina


Judul      : Last Forever
Penulis   : Windry Ramadhina
Penerbit : GagasMedia
Harga    : Rp. 69.000
Halaman: 384 Hal



 Blurb:

“Seharusnya, aku tidak boleh mengharapkanmu. Seharusnya, aku tahu diri. Tapi, Lana..., ketakutanku yang paling besar adalah... aku kehilangan dirimu pada saat aku punya kesempatan memilikimu.” — Samuel

“Untuk berada di sisimu, aku harus membuang semua yang kumiliki. Duniaku. Apa kau sadar?” — Lana

Dua orang yang tidak menginginkan komitmen dalam cinta terjerat situasi yang membuat mereka harus mulai memikirkan komitmen. Padahal, bagi mereka, kebersamaan tak pernah jadi pilihan. Ambisi dan impian jauh lebih nyata dibandingkan cinta yang hanya sementara. Lalu, bagaimana saat menyerah kepada cinta, justru membuat mereka tambah saling menyakiti? Berapa banyak yang mampu mereka pertaruhkan demi sesuatu yang tak mereka duga?

 Resensi:


Mimpi itu/ Impian-impian itu / sebuah ambisi merupakan hal yang sangat berharga. Sesuatu yang membuat hidup lebih menyala. Berkobar bagai bara api. Sebuah tujuan hidup. Bagi Lana – bagiku, impian semacam itu.

Ada puluhan tempat yang ingin Lana kunjungi. Misalnya, Goa Xibalba di Belize. Situs arkeologi Sulu Maya itu menyimpan kepingan-kepingan tembikar berusia ribuan tahun. Terlalu banyak hal yang belum ia wujudkan. 

Lana perempuan mandiri, bekerja di Nat Geo selama enam tahun, seseorang yang antikomitmen, dan hanya memikirkan kebebasan dalam meraih cita-citanya. Umurnya sudah tiga puluh satu tahun, ia sama sekali tidak memikirkan sebuah hubungan yang serius, apalagi menikah.

Tujuh tahun yang lalu, Lana bertemu dengan Samuel Hardi. Pemilik studio film dokumenter. Laki-laki ambisius yang angkuh. Laki-laki yang suka bergonta-ganti pasangan, menjalin hubungan hanya untuk urusan fisik.  Lelaki yang merebut hati Lana, dalam sebuah pertunjukkan film dokumenter mengenai penari Jawa. Saat itu, tujuh tahun yang lalu, Lana melihat karya Samuel di Festival de Cannes. Lana terpukau, ia sampai lupa untuk bernapas. Samuel Hardi, ia mencari laki-laki itu, terobsesi. Begitu saja, hubungan mereka pun terjalin. Bukan hubungan sepasang kekasih, bukan hal semacam itu.

Lana di Wangshinton dan Samuel di Jakarta.

Hubungan mereka terjalin hanya sebatas fisik saja. Adakalanya, Lana pergi ke studio Samuel, bercinta, lalu pergi. Atau sebaliknya. Setiap ada kesempatan mereka bertemu. Lagi-lagi, hanya hubungan fisik. Saling bercerita mengenai film dokumenter. 

Bagiku, mereka semacam partner in crime?

Cerita dimulai ketika Lana harus kembali ke Indonesia, Jakarta, tepatnya untuk melakukan persiapan syuting di Flores. Hardi merupakan studio yang dipilih oleh Nat Geo untuk membantu kelancaran proyek tersebut. Saat itulah, Lana dan Samuel, mengetahui sesuatu yang membuat mereka memilih dan berpikir ulang untuk bersama. 

Ini merupakan novel kedelapan Mbak Windry. Novel ini bukan kelanjutan dari Montase, meskipun di sini ada Rayyi, tokoh utama dalam Montase. Tokoh Samuel Hardi dalam Last Forever memang diambil dari Samuel Hardi dalam Montase. Untuk informasi saja, Montase merupakan novel awal yang membuatku menyukai karya-karya Mbak Windry. 

Seperti karya Mbak Windry sebelumnya. Dia – Mbak Windry – selalu bisa membawa suasana dalam novel. Seakan-akan mereka benar-benar nyata, hidup. Bukan fiksi. Cara bertuturnya detil, setting selalu mendukung isi cerita. Dalam Last Forever, kelakuan Lana dan Samuel, membuatku senyum-senyum sendiri. Di sini, mereka lebih ‘nakal’ daripada tokoh dalam kisah Mbak Windry lainnya – suka sekali saya!

Rayyi, di Last Forever menjadi pemuda yang menyebalkan. Suka sekali menggoda bos-nya, Samuel. Saya sampai ikutan geram dibuatnya. Terlebih lagi, pada adegan di bab 21 halaman 324 – saya tidak akan menyebutkan adegannya seperti apa, takut spoiler haha – Rayyi tertawa keras, menertawai Samuel. Menurut saya, interaksi keduanya terasa lucu dan menyenangkan. 

Beruntungnya, novel ini diselipi beberapa kutipan dari tokoh-tokoh dunia. Seperti Sade Andria Zabala pada awal bab yang berbunyi 

I want to be the first thing you touch in the morning and the last thing you touch at night

Bagi saya, kutipan tersebut seksi. Sedikit, hot, dan benar-benar bisa mengawali cerita dengan pas. Menggambarkan Lana dan Samuel sesungguhnya. Mereka hot, Baby!

Jika diibaratkan, saya adalah Lana, memiliki pekerjaan impian di Nat Geo, apartemen sendiri, melakukan segala sesuatunya tanpa ada larangan, dan hanya bertanggung jawab pada pekerjaan. Siapa sih, yang tak suka berpergian dibiayai oleh perusahaan gratis dan dibayar pula? Tentu, berkomitmen adalah hal terakhir yang akan saya atau Lana pikirkan. Tapi, bukankah adakalanya, kita merasa sendirian dan butuh seseorang. Lagi pula, perempuan mana yang mau melewatkan Samuel Hardi? Saya pun, tidak. 

Dalam kisah ini, emosi saya membuncah ketika Lana tidak bisa bertemu Samuel, ketika laki-laki itu membutuhkannya di Flores. Seorang Lana, bisa begitu lemah dan emosional karena seorang Samuel. Samuel pun sebaliknya, ia rela meninggalkan pekerjaan hanya karena seorang Lana.

Mereka memiliki hubungan yang rumit, tapi juga sangat manis. 

Sangat rugi, jika tidak mengikuti kisah mereka!

“Pernikahan tidak masuk akal buatku, Samuel. Lebih tidak masuk akal lagi kalau aku menjalaninya bersamamu. Kau. Lelaki yang tidak pernah bertahan dengan satu perempuan untuk waktu yang lama. Sekarang, mungkin kau menginginkanku. Tapi, bagaimana satu tahun kemudian? Lima tahun. Sepuluh tahun. Apa kau bisa menjamin kau tidak akan menyakitiku? ....” - Lana  hal 356

It takes great courage to love, knowing it might end anytime but having the faith it will last forever - Erich Segal

No comments:

Post a Comment