Laman

Visitor

Monday, October 26, 2015

[Review] What If oleh Morra Quatro




Judul      : What If
Penulis   : Morra Quatro
Penerbit : Gagas Media
Tahun     : 2015
Halaman : 280 Hal
ISBN     : 9789797808334




Blurb:

Kamila.
 
Si Anal. Pengagum Sigmund Freud. Asisten dosen ilmu sosial yang sangat detail, yang selalu menjawab tiap pertanyaan di kelas. Menurut Kamila, orang-orang, terutama pada usia muda mereka, sesungguhnya punya kehausan alami akan ilmu. Baginya, hubungannya dengan Jupiter kemarin terasa seperti mimpi, sisanya tak benar-benar nyata.

Jupiter.
 
Mahasiswa tingkat dua. Penyuka basket, pemain gitar, perayu ulung. Ia telah menghadirkan Kamila di dalam hatinya sejak kali pertama pertemuan mereka di bawah langit siang. Baginya, ada sekelumit cerita yang harus ia ungkap. Tentang gadis yang ingin selalu ia antar pulang; tentang kisah yang datang bersamanya. Namun, ketika mereka tak lagi berjarak, ia menyadari ada sesuatu yang membuat segala hal di bawah langit siang itu terasa tak sama.

WHAT IF, tentang harapan yang terhalang. Tentang kenyataan yang tak mungkin dimungkiri. Tentang hidup yang tak selalu berpihak—hingga memaksa Jupiter dan Kamila menjadi lebih kuat daripada yang mereka sadari.


Resensi:

Ini cerita mengenai Jupiter – atau Pitt- dan Kamila. Dua orang remaja dewasa yang saling jatuh cinta, tapi terpisahkan oleh pilar-pilar kepercayaan. 

Pertemuan mereka di lapangan basket. Saat itu, Pitt sedang mendribel bola, memasukkan ke dalam ring, kemudian Kamila, yang baru saja terlibat debat sengit dengan Ali Akbar, datang. Tanpa sengaja ia berguman, dengan suara yang teramat keras, Pitt mendengar dan menyahut.

Mereka terlibat percakapan ringan, dan berakhir pada Pitt meminta nomor telepon Kamila.

Pitt merupakan junior Kamila, ia satu semester di bawah Kamila. Tapi, itu tak membuat Pitt menyerah. Meskipun, mereka selalu memanggil Kamila Si Anal. Si perinci. 

Kisah cinta Pitt pada Kamila tidak berhenti di situ. Saat Kamila menjadi asisten dosen Bu Miranda, Pitt masih berusaha meminta nomor telepon Kamila. Sampai-sampai Kamila jengah, dan memberi syarat pada Pitt. Jika lelaki bandel itu mendapatkan nila A pada mata kuliah Bu Miranda, ia mendapatkan nomor telepon Kamila.

Pitt bukanlah mahasiswa yang patuh dan manis seperti, Finn. Bukan mahasiswa yang suka mencatat dan mengejar nilai seperti Steven, sahabatnya. Ia mempunyai luka di pelipis, bekas tawuran di masa remajanya. Ia lebih suka main basket dan merokok. Baginya, mendapatkan nomor telepon Kamila dengan mendapatkan nilai A adalah sia-sia. Tapi, saat itu ada sisi rapuh pada Kamila yang membuatnya ingin tahu. Maka, Pitt melakukan apa yang disyaratkan padanya.

Ini kisah mengenai perbedaan. Jarak antara keduanya terbentang luas. Terlalu jauh untuk saling menggamit. Terlalu berisiko untuk saling menautkan jemari. Ada hal-hal yang tak bisa mereka ubah. Ada keputusan berat yang harus mereka ambil. Meskipun begitu, mereka mencoba untuk bertahan. Untuk tetap percaya pada perasaan mereka, meskipun Tuhan tak merestui. 

Kisah ini begitu menyentuh. Melihat Pitt yang menyeberang begitu jauh untuk Kamila. Mendengar doa-doa yang dilantunkan Kamila untuk Pitt. Demi keduanya mereka bertahan dan merelakan. 

Bagi pembaca kisah-kisah Kak Morra, pasti tahu ending  yang selalu disajikan olehnya. Pahit. Sesak. Tapi, entah kenapa, selalu saja ada tangan-tangan yang rindu mengusap kaver cerita terbarunya. Selalu ada yang rela menunggu untuk kisah-kisah menyesakkan lainnya.

Bagi saya, kisah dalam cerita Kak Morra selalu cerdas. Bukan sekedar romansa biasa. Membumi. Alami. Bahkan, mungkin di luar sana ada orang-orang yang sama seperti Kamila dan Piter. Mereka berjuang untuk bertahan, dan merelakan.

Untuk kalian yang merindukan sesak sekaligus manis. Novel ini layak tuk menghuni rak buku kalian. Dan, selamat menikmati manisnya kisah ini dalam secangkir kopi pahit. 

“Ada hal-hal yang pernah kita miliki, yang harus kita biarkan pergi dengan berani...”hal 279
Tentu setiap cerita yang pernah saya baca, saya memiliki bagian favorit saya sendiri. Mungkin, sebagian pembaca Kak Morra favoritnya ketika Gembul berkata, "Ternyata, Susan gedenya beneran jadi dokter." Bukan bagian itu. Meskipun pada bagian itu saya tertawa dengan keras. Mengendorkan urat-urat wajah yang sudah siap tegang lantaran Pitt jatuh sakit. Bagian favorit saya adalah ketika kali pertama Pitt mengantar Kamila pulang, ketika Kamila enggan duduk di depan Piter karena ia malu. Ia merasakan getaran itu. Kamila tak ingin bersitatap dengan Piter.

Pada bagian itu, saya merasakan menjadi Kamila. Saya merasa begitulah cinta yang besar. Kita tak pernah mampu memandangnya, tapi juga enggan tuk berpaling. Debaran itu masih terasa hingga kini. Seperti Kamila, yang bersemu merah ketika Piter mengecup keningnya. Saat itu, terjawab sudah. Terpapar sudah apa yang terjadi di antara keduanya.


No comments:

Post a Comment