Foto: Koleksi Pribadi |
Judul : Catatan Musim
Penulis : Tyas Effendi
Editor: eNHa
Tahun terbit : 2012
Penerbit : GagasMedia
Halaman : 270 halaman.
ISBN : 9797804712
Blurb:
Aku tak ingin menganggapnya sebagai cerita paling sia-sia.
Anggap saja ini adalah lembar penutup catatan senja. Berpita manis seperti boneka berdasi yang terlukis di cangkir teh kita.
Mungkin kau hanya bunga trembesi yang datang dari masa perbungaan raya. Menyinggahi penghujanku yang menderas memenuhi janji kemaraunya. Kau hanya setitik di antara ribuan tetes, seserpih di antara hamparan es, sepucuk yang baru bersemi menemani embun dini tadi. Sedangkan aku, terus menjadi musim yang berlari di sayap waktu; menerka isi hatimu, menantinya terbuka untukku.
Musim akan tetap bergulir, dan aku terus menunggumu hadir, meski harus menjemput ke belahan bumi yang lain
Resensi:
Menceritakan tentang Tya dan Gema yang bertemu ketika hujan di sore hari di kota hujan, Bogor. Pertemuan pertama itu berlanjut hingga pertemuan-pertemuan berikutnya hingga mereka saling mengenal. Gema seorang pelukis dan Tya bekerja sebagai penerjemah novel bahasa asing. Karena terlalu sering bertemu akhirnya keduanya memiliki perasaan terhadap satu sama lain, tetapi belum ada yang berani mengungkapkannya. Hingga suatu hari ketika Gema melukis, kakinya terkena serpihan kayu yang terdapat pada bingkai kanvas yang ia buat sendiri. Awalnya, Gema tidak mengambil pusing mengenai serpihan-serpihan itu, tetapi kian hari kaki kirinya menjadi sakit dan ternyata serpihan kayu itu menyebabkan ia terkena kanker.
Akhirny, Gema harus kehilangan kakinya sedikit demi sedikit karena virus itu terus menyebar. Inilah penyebab Gema tidak berani menaruh hati pada Tya. Suatu hari Gema mendapatkan surat yang menyatakan dia diterima di Universitas di Lille, Paris. Berita ini membuat Tya sedih namun ia tak berani berkata apapun, karena ia beranggapan Gema hanya menganggapnya sebagai teman.
Musim telah berganti sejak kepergian Gema, tetapi Tya tetap menaruh hati pada pemuda yang kehilangan kaki kirinya itu. Hingga ia memutuskan untuk menyusul Gema di Lille dengan mendaftarkan diri ke Universitas di Lille.
Tyas Effendi membawa cerita ini dengan santun dan pemilihan kata yang indah. Bercerita mengenai hujan, musim kemarau, musim gugur, dan musim dingin. Tutur kata yang halus membuai pembaca untuk terus melanjutkan cerita, rasa penasaran bagaimana akhirnya Tya bersama Gema. Pembaca pasti sudah mengetahui kalau pada akhirnya Tya dan Gema akan bersama lantaran sejak awal cara bercerita di novel ini menggunakan sudut pandang orang pertama Tya dan gema secara bergantian. Membicarakan mengenai ini, terkadang pembaca dibuat bingung karena anatara Tya dan Gema tidak ada perbedaan sama sekali.
Adalah beberapa adegan yang membuat saya merasa novel ini kurang "pas".
- Tya yang memiliki prinsip "tidak akan membiarkan laki-laki yang bukan suaminya dan yang tidak ia cintai menyentuhnya meskipun hanya tidur (tidur berdampingan)" ternyata begitu mudah melanggar prinsipnya demi membuktikan bahwa dia bukan "pecinta sesama jenis" (Hal 142)
- Ketika Gema tidak sengaja memecahkan cangkir dari Kak Agam di rumah baca yang katanya cangkir itu adalah cangkir istimewa. Pertama, jika cangkir istimewa kenapa juga harus disimpan di rumah baca? Kenapa tidak di simpan di flat-nya intinya bukan diletakkan di tempat orang lain. Kedua, jika itu cangkir istimewa kenapa diberikan pada Gema? Kan masih banyak cangkir yang lain. Kenapa Tya tidak mempergunakan cangkir itu sendiri? Ketiga, reaksi Tya yang menunjukkan kalau Gema keterlaluan karena memecahkan cangkir tersebut seakan menunjukkan bahwa cinta Tya ke Gema tidak lebih besar dari kenangannya dengan Kak Agam melalui cangkir tersebut.
- Saat di flat Kak Agam menemukan kenyataan bahwa Tya sudah membiarkan orang lain mencorat-coret (melukis) cangkir-cangkir polos pemberian darinya. Kak Agam marah besar seakan cangkir-cangkir itu adalah miliknya padahal cangkir-cangkir itu udah "sah" milik Tya. Jadi, terserah Tya mau diapakan. Seharusnya Kak Agam cukup kecewa dan bersifat "lebih dewasa" seperti yang sebelumnya Tya ceritakan. Ditambah lagi ketika Kak Agam memukuli Gema dengan membabi buta seperti itu. Menunjukkan Kak Agam di sini lebih "labil" dari usianya.
Untuk adegan yang selain saya sebutkan di atas, kisah ini cukup manis. Ending yang memang sejak awal sudah bisa diduga tidak membuat kemanisan dari kisah ini luntur begitu saja.
Ini adalah novel kedua dari Tyas Effendi yang saya baca dan overall saya suka. Lain kali kalau disuruh baca karya Tyas Effendi tidak akan sungkan-sungkan untuk mengangkutnya :)
Hujan adalah makhluk purba yang tak pernah lupa membawa berita dari masa lampau , katanya; hujan tidak pernah lupa debaran semangat atau kobar niat, menggugat setiap geliat
wow pakai POV1 ya...
ReplyDeletecuma punya beberapa novel yang pakai POV1, itupun gak pakai ganti-ganti tokoh yang bercerita..
cieee blog baru cieee :)
Iya pov 1 :D
Delete:')